SEKARANG, ACEH SUDAH DAMAI

Andika 2

“Saat ini Aceh sudah damai. Tidak ada letupan senjata setiap hari, tidak ada kesedihan menggantung di wajah-wajah masyarakatnya. Untuk mengisi perdamaian agar berguna, Aceh saat ini membutuhkan pemuda-pemudanya yang memiliki kapasitas dan ketulusan hati untuk mengabdi kepada daerahnya dan mengejar segala ketertinggalan. Konflik 30 tahun yang berkepanjangan dan alam yang tidak bersahabat menjadikan anak muda Aceh sulit untuk bermimpi dan mengembangkan kreatifitas.”

Kalimat ini cukup menyesakan dada. Siapapun yang waras pasti akan merasakan hal yang sama. Kata-kata ini merupakan penggalan kalimat di bagian awal proposal kegiatan Dream Maker Camp, kegiatan nasional yang diselenggaran oleh anak-anak Muda Aceh yang tergabung dalam The Leader pada April 2015 lalu. Konflik GAM RI, Bencana Tsunami dan rentetan permasalahan Aceh lainnya membuat siapapun berpikir, bagaimana nasib anak-anak dan masyarakat Aceh yang terus dihantam dengan permasalahan yang seakan-akan tidak ada ujungnya? Maka cerita ini aku persembahkan untuk daerah yang amat aku cintai, daerah itu bukan tempat kelahiranku, bukan pula tempat yang membesarkanku. Aku sama sekali tidak memiliki garis keturunan orang Aceh, tetapi aku akan menjelaskan mengapa aku begitu mencintai daerah ini.

Aku masih ingat, kira-kira pada saat aku berusia 9 tahun, televisi sering kali dipenuhi dengan tayangan konflik GAM-RI, hingga ketika berada di sekolah aku pun bertanya pada guruku, apa itu GAM? Guru ku menerangkan bahwa GAM adalah Gerakan Aceh Merdeka. Aku jadi tahu, tetapi tetap tidak mengerti. Bahkan terkadang GAM ini menjadi lelucon di kalangan anak-anak seusiaku, misalnya dijadikan guyonan oleh temanku menjadi “Gerakan Anak Metal” dan lain-lain, aku pikir hal itu terjadi karena terlalu seringnya televisi menayangkan berita tentang konflik GAM-RI. Entah kenapa, pengalaman kecil itu yang kembali hadir diingatanku ketika aku sampai di Bandara Sultan Iskandar Muda, Bandara yang terletak di Aceh Besar dengan arsitektur bangunan yang mirip dengan bangunan di Turki. Ketika itu, bulan April tahun 2015, aku berkesempatan mengikuti rangkaian kegiatan Dream Maker Camp di Banda Aceh. Melalui tahapan seleksi berkas dan motivation letter, akhirnya mimpi sejak kecil untuk bisa berkunjung ke tanah Aceh bisa terwujud.

Di luar Bandara aku lihat beberapa panitia menyapa dengan sapaan yang akrab dan hangat. Aku dan dua orang temanku diantar ke lokasi kegiatan dengan menggunakan Mobil. Sepanjang perjalanan dari Aceh Besar menuju Banda Aceh, jalanan begitu sepi, hanya semak belukar yang terlihat di sisi jalan, tidak terlihat penerangan ataupun aktivitas warga sekitar. Di dalam mobil, kami pun saling mengobrol satu sama lain. Aku berbincang banyak dengan pemuda Aceh bernama Ikhwan, hingga ada yang membuatku terkejut, ketika Ikhwan mulai bercerita tentang DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh.

“Dulu, ketika langit sudah gelap, tidak pernah ada warga yang berani melewati jalan yang sedang kita lalui ini.” Cerita ikhwan sambil mengemudi mobil. Ia menambahkan bahwa sering ada regu penembak yang mengumpat di tengah kegelapan, dan menembak siapapun yang melewati jalanan dari balik semak-semak. Ketika itu Aceh masih diselimuti dengan konflik GAM-RI. Bahkan ketika Ikhwan masih kecil, ia harus pindah ke luar Aceh untuk beberapa waktu karena orangtuanya ingin menyelamatkan Ikhwan dari insiden konflik yang tidak berkesudahan. Ikhwan bukanlah satu-satunya anak Aceh yang merasakan hal tersebut. Tetapi ada ratusan, bahkan ribuan anak Aceh yang tiap harinya harus berhadapan dengan suasana perang dan konflik. Barangkali ketika kita sedang merengek minta dibelikan mainan, anak-anak di Aceh sedang berdoa kepada Tuhan agar mereka dapat bertahan dan hidup lebih lama. Sering pula sebagian dari kita bolos sekolah karena alasan bermacam-macam. Tidakkah kita malu dengan mereka? Padahal disana, anak-anak di Aceh tetap bersemangat berangkat ke sekolah mereka walaupun harus berhadapan dengan bunyi dentuman senjata, bahkan tidak jarang pula mereka melihat mayat korban konflik GAM-RI yang tergeletak di jalanan atau selokan. Namun, berbagai kejadian mengerikan itu tidak membuat mereka mundur sejengkal pun untuk tetap berangkat ke sekolah.

Kembali ke Dream Maker Camp, di forum nasional ini aku bertemu dengan berbagai teman yang mempunyai latarbelakang yang beragam. Ada yang berasal dari Kalimantan, Solo, Medan, Sumatera Barat dan Aceh. Makin sadar, kita ini bangsa yang beragam, dari warna kulit, bahasa hingga kebudayaan. Hebat sekali Sukarno, pikirku dalam hati. Ia mampu membuat seluruh rakyat di Nusantara yang sebelumnya terpecah-belah menjadi satu kesatuan melawan penjajahan Belanda. Negara kita memang berbeda dengan yang lain. Jika nasionalisme di Eropa tumbuh karena perjalanan sejarah yang panjang, nasionalisme kita atau Bangsa Indonesia lahir karena adanya tekanan kolonialisme. Wilayah-wilayah kecil yang sebelumnya berdiri sendiri dengan latarbelakang sejarah yang berbeda-beda mampu disatukan oleh Founding Fathers kita untuk sama-sama berjuang mengusir penjajah dari tanah Nusantara. Tidak heran dalam perjalanannya, bangsa kita mengalami disintegrasi, atau retaknya bangunan bernegara-berbangsa. Rezim Orde Baru yang meletakan dasar pembangunan sentralistik, menyebabkan pola pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan tanpa memperhatikan pemerataan hasilnya. Akibatnya, terjadilah ketimbangan pembangunan antara daerah dan pusat. Padahal daerah lebih banyak menyumbangkan kontribusi capital terhadap pusat. Namun, dalam distribusi pendapatan tidak mendapatkan porsi yang sesuai. Hal inilah yang mendasari wilayah-wilayah di luar Jawa seperti Aceh melawan pemerintahan pusat. Puncaknya adalah ketika Hasan Tiro dengan pentolan GAM angkatan 76 mendeklarasikan Aceh Merdeka di Gunung Halimon karena Pemerintahan RI di bawah kuasa Orde Baru dianggap sebagai penjajah baru yang menggantikan Belanda.

DM

Pertemuan dengan anak-anak Aceh di Dream Maker Camp semakin membuat aku mengerti bahwa masyarakat Aceh merupakan orang-orang yang sangat menghargai sejarah. Ketika aku bertanya tentang Sultan Iskandar Muda, GAM, dan DOM mereka mampu mengingat dan menjawabnya dengan baik. Ada salah seorang peserta asal Aceh yang bernama Ridwan, ia memiliki kemampuan yang cukup unik, yakni mampu berbicara fasih dalam belasan bahasa dunia, Amazing! Dari balik kecerdasannya ternyata Ridwan menyimpan cerita yang tidak banyak diketahui orang. Ia masih mengingat cerita ayahnya ketika ia masih kecil. Dahulu, di atas Gunung di kampungnya, kakek Ridwan ditembak oleh Tentara ketika sedang mengambil air untuk Solat Subuh. Ia mati dan gugur dalam perjuangan memerdekakan bangsanya dari kesewenang-wenangan pembangunan rezim Orde Baru. Ya, kakek ridwan adalah seorang Panglima GAM. Beliau dan anggota GAM lainnya gugur satu persatu karena operasi militer besar-besaran yang dilancarkan oleh Orde Baru terhadap pejuang Aceh Merdeka, kemudian dilanjutkan dengan DOM (Daerah Operasi Militer) sejak 1989 hingga 1998 yang menyebabkan tidak kurang dari 6000 warga Aceh tewas. Akibatnya, simpati masyarakat Aceh terhadap GAM semakin besar. Bahkan menurut cerita yang dipaparkan Ridwan, orang-orang desa sangat simpatik dengan perjuangan GAM. Kakek ridwan dan pejuang kemerdekaan lainnya dilihat sebagai sekolompok orang yang berani dan bijak. Karena itulah masyarakat Aceh tidak segan menyuplai pasokan makanan untuk pejuang Aceh Merdeka ketika Aceh diserbu oleh pasukan militer. Perbincangan panjang dengan Ridwan berakhir ketika sesie diskusi kelompok Dream Maker Camp dimulai.

Ketika diskusi kelompok, aku bergabung dengan kelompok yang para pesertanya 90% berasal dari Aceh. Kami semua bertukar cerita tentang mimpi dan impian kita di masa mendatang. Aku memperhatikan mereka dan rasanya aku harus malu. Mereka punya cita-cita yang begitu tinggi dan mulia. Ada yang bercita-cita bersekolah di luar negeri dan ada yang ingin menjadi walikota Lhokseumawe. Calon Walikota itu bernama Heru Tesar, anak yang baik, murah senyum, bijak dan mampu berteman dengan siapapun. Heru ingin menjadi Walikota di kota kelahirannya karena sebagai anak daerah, ia merasa punya tanggung besar untuk membangun daerahnya. Aku rasa Heru benar, setiap sekolah di negeri ini harus mampu memberitahu para siswa bahwa sebagai putra-putri daerah, mereka punya kewajiban untuk segera pulang ketika sudah selesai menyelesaikan pendidikan di luar daerah/luar negeri. Hal ini harus dilakukan dan masuk dalam kurikulum sekolah agar setiap lulusan sekolah nantinya tidak bernafsu untuk menetap di kota atau pergi ke wilayah lain. Namun, mereka akan pulang untuk membenahi permasalahan-permasalahan yang ada di daerah dan kampung-kampung mereka. Obrolan dengan Heru dan anak-anak Aceh lain semakin larut, kami pun dibawa ke perbincangan tentang Tsunami yang meluluhlantahkan Aceh pada tahun 2004.

Aku masih ingat, ketika tahun 2004, televisi dipenuhi dengan tayangan orang-orang yang sedang mengungsi, jenazah-jenazah yang tergeletak di bibir pantai, anak kecil yang menangis dan masjid-masjid yang tetap kokoh dan menjadi pelindung orang-orang yang berlindung dari banjir. Semua berbelasungkawa, ada Sherina pula, idola cilik generasi 2000-an yang ikut menunjukan belasungkawanya melalui lagu “Indonesia Menangis”, televisi dipenuhi dengan lagu Josh Groban yang berjudul “You Raise Me Up”. Generasi 2000-an pasti pernah melihat tayangan-tayangan ini. “Nenek, apakah itu banjir?” aku bertanya kepada Almh. Nenekku, dan beliau menjawab dengan lembut. Sambil mengusap kepalaku, nenek mengatakan bahwa itu bukanlah banjir, itu adalah bencana Tsunami, ia lebih menyeramkan dibandingkan dengan banjir. Aku jadi tahu, tetapi masih tidak mengerti. Akhirnya, sekolah dan perjalanan hiduplah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering aku ajukan ketika masih kecil.

Tsunami

Konflik GAM-RI yang sebelumnya sulit menemui titik temu seakan tergerus dan menghilang ketika Aceh diluluhlantahkan oleh Bencana Tsunami. Sesegeralah peristiwa menyeramkan itu menjadi perhatian dunia internasional. Bencana Tsunami sungguh menusuk perasaan siapapun yang merasakan, mendengar dan melihatnya. Indonesia kembali menangis, Aceh sebagai bagian dari republik hancur lebur bukan karena bom ataupun peperangan. Tetapi karena teguran Tuhan agar perdamaian segera terwujud. Hingga teguran itu mampu meluluhkan perasaan keduabelah kubu yang sedang berkonflik untuk segera melakukan perdamaian. Helsinki menjadi saksi perdamaian GAM dan RI. Segeralah, pejuang Gerakan Aceh Merdeka kembali ke pelukan republik dengan catatan pemerintahan pusat harus berjanji tidak akan mengabaikan pembangunan di daerah-daerah tertinggal. Sekali lagi, untuk menyelesaikan berbagai konflik di berbagai daerah, negeri ini seharusnya bisa belajar dari Konflik GAM-RI. Bagaimana tidak muncul pergolakan jika sebagian orang hidup dalam bahaya, rumahnya tergusur, sumber kehidupannya dimatikan, diusir dari tanah yang mereka garap sementara sekelompok orang lainnya hidup mewah dan bergelimang harta seperti hidup di atas awan? Agar tetap bersatu negeri ini harus mendorong (keadilan sosial) yang mendukung dan mengekspresikan kepentingan bersama. Keadilan sosial tidak kemudian menghapus perbedaan, namun hendak memastikan terjadinya kesamaan kesempatan.

Aku merasa beruntung bisa mengikuti kegiatan Dream Maker Camp yang diselenggarakan di Aceh. Sekali lagi, impianku untuk sampai di tanah yang amat aku kagumi ini dapat terwujud. Pertemuan-pertemuan dengan para peserta, panitia dan masyarakat di Aceh membuatku semakin mengerti hidup ini sebenarnya untuk apa. Sekarang, konflik di Aceh sudah selesai, generasi Aceh harus berbuat untuk masa depan karena generasi Aceh masa lampau sudah berjuang untuk kebesaran Aceh saat ini. Ridwan, Heru dan anak Aceh lainnya kini sudah meraih prestasi di bidangnya masing-masing. Mereka mampu membanggkan Aceh dengan lolos sekolah ke luar negeri, menjadi Duta Bahasa, menjadi delegasi Aceh di forum nasional hingga internasional dan prestasi membanggakan lainnya. Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa hari ini perang masih mewarnai Syria, Palestina dan negara Timur Tengah lainnya. Tiap harinya anak-anak disana merasakan hal yang pernah dirasakan oleh anak-anak di Aceh 15 tahun yang lalu. Entah seperti apa menyeramkannya suasana perang sehingga membuat anak-anak disana harus berlindung di balik reruntuhan bangunan agar mereka dapat bertahan untuk hidup lebih lama. Mereka mengajarkanku bahwa kemiskinan, keterbatasan dan berbagai permasalahan yang membuat mereka sengsara itu mampu menjelaskan pengetahuan tentang keadilan dan pengertian tentang kehidupan. Seperti pembelajaran yang terus diberikan oleh Dream Maker Camp, jangan pernah takut untuk bermimpi, mimpilah setinggi mungkin, wujudkan mimpi-mimpi besarmu walaupun saat ini kamu bukanlah siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Kahlil Gibran pun melukiskan perjuangan itu dengan anggun, “Jika ketakutan mesti menghentikan kita di tengah jalan, kita hanya akan mendengar cemoohan dari suara-suara malam, namun jika kita mencapai puncak bukit dengan gagah berani, kita akan bergabung bersama arwah-arwah dari surga dalam nyanyian-nyanyian kemenangan dan kegembiraan.” Teurimong Geunaseh, Aceh!

Andika 1

3 respons untuk ‘SEKARANG, ACEH SUDAH DAMAI

Tinggalkan komentar